Tahukah Ayah Bunda, bahwa sejak tanggal 28 November 2024, Sekolah Murid Merdeka (SMM) merilis inisiatif baru bernama BINGKAI Vol 1. Bincang SMM Bareng Keluarga Kita, sebuah acara yang mengusung konsep roadshow ke berbagai kota sesuai jangkauan lokasi hub SMM, berlangsung selama periode tahun ajaran 2024/2025.
Acara ini adalah hasil kolaborasi dengan Keluarga Kita, untuk menciptakan BINGKAI sebagai komitmen SMM untuk memberikan dukungan kepada orang tua murid dalam memahami aspek-aspek penting dalam pengasuhan dan pendampingan anak di lingkungannya, termasuk keluarga dan dan sekolah.
Bukan sekadar bincang biasa, tapi SMM juga melibatkan praktisi pendidikan sebagai narasumber inspiratif, di antaranya Ibu Najelaa Shihab sebagai Founder SMM, Radinka Qiera sebagai Co-founder SMM, Yason Pranata sebagai Direktur SMM, dan pemateri dari Keluarga Kita sebagai praktisi dalam pengasuhan anak.
Nah, melalui artikel ini kami ingin membagikan highlight acara yang sudah berlangsung kepada Ayah Bunda yang belum sempat menghadiri roadshow BINGKAI Vol.1 ini. Salah satunya, tentang penerapan disiplin positif dan pengembangan self-regulation untuk mendukung pertumbuhan anak, baik dalam keluarga maupun lingkungan sekolah.
Wah, seperti apa ya materinya? Mari kita simak sampai tuntas artikel ini.
Tantangan Disiplin Positif pada Anak
Satu hal yang sebaiknya kita sepakati sejak awal adalah pemahaman dasar bahwa disiplin positif bukan hanya soal memberi aturan atau menghukum anak ketika berperilaku buruk. Lebih dari itu, disiplin positif berkaitan dengan pendekatan yang melibatkan empati kita sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, pemahaman, serta pemberian contoh yang baik.
Sayangnya, dalam praktiknya, masih sering kita jumpai secara langsung maupun dari media massa orang tua yang menghadapi tantangan bahkan kurang tepat dalam menerapkan disiplin positif. Mengapa ini bisa terjadi? Mengutip dari penjelasan yang disampaikan oleh narasumber BINGKAI Vol. 1, beberapa hambatan sering bermunculan seiring dengan pengasuhan anak, baik di rumah maupun sekolah, seperti:
- Kurangnya Pemahaman tentang Metode Disiplin Positif
Tidak semua orang tua memahami konsep disiplin positif secara komprehensif. Esensinya, disiplin positif bukan berarti kita menerapkan hukuman untuk mengajarkan kedisiplinan kepada anak. Melainkan, cara kita untuk mengajarkan anak bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, dengan tetap memberikan perhatian pada proses belajar dan perkembangan mereka. - Kesabaran yang Terbatas
Pengasuhan anak adalah proses panjang yang membutuhkan kesabaran, begitu pula dengan menerapkan disiplin positif sebagai salah satu bagiannya. Lumrah jika dalam prosesnya, kita menjumpai orang tua atau bahkan kita sendiri merasa atau mengeluarkan emosi negatif atas perilaku anak di luar ekspektasi kita sebagai orang tua.
Di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji, bagaimana cara kita untuk mengelola emosi dan “menaikkan batas kesabaran” ketika menghadapi perubahan perilaku anak. Utamanya, dalam proses mengenal dan membangun karakter mereka.
- Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
Seperti rahasia umum, kita masih sering menjumpai atau bahkan mengalami sendiri sebagai orang tua yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap perubahan perilaku anak. Misalnya, berharap anak langsung bisa mengikuti aturan tanpa diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Padahal, pengembangan disiplin positif melibatkan pemberian ruang bagi anak untuk mengatasi kesalahan mereka dengan cara yang mendidik. - Mispersepsi Anak terhadap Orang Tua
Siapa yang mengira jika pendekatan reward kepada anak setelah menyelesaikan tanggung jawabnya juga terkadang bisa memicu mispersepsi. Jika dilakukan dalam tahap wajar, tentu ini tidak akan menjadi masalah. Namun, ketika porsinya sudah melebihi batas dan akhirnya membuat anak hanya mau mendengarkan atau menjalankan instruksi selama ada reward, tentu ini bukanlah metode pengasuhan bisa dilanjutkan begitu saja.
Sebagai orang tua, kita perlu melakukan refleksi dan berbenah. Harapannya, kita bisa menanamkan motivasi internal dan konsep tanggung jawab pribadi kepada anak, tanpa iming-iming yang menjadi ketergantungan kurang baik untuk dampak jangka panjangnya.
Coba absen dulu, di antara Ayah Bunda pembaca artikel ini, siapa yang pernah mengalami mispersepsi seperti yang disebutkan? Kalau Ayah Bunda salah satunya, pastikan untuk terus membaca artikel ini supaya bisa mendapatkan lesson learned atau solusi untuk mengatasi tantangan ini.
Sumber Motivasi: Intrinsik vs. Ekstrinsik
Highlight kedua berkaitan dengan pengenalan sumber motivasi anak yang menjadi pemahaman dasar sebelum mempelajari prioritas maupun strategi yang dapat Ayah Bunda terapkan dalam rangka memberikan lingkungan terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dalam pengasuhan dan pendidikan, motivasi anak menjadi kunci utama dalam proses belajar. Berikut adalah penjelasan dasarnya terkait klasifikasi motivasi anak.
- Motivasi Intrinsik (Internal)
Motivasi ini datang dari dalam diri anak, yang muncul ketika mereka melakukan sesuatu karena mereka benar-benar ingin melakukannya, bukan karena adanya paksaan atau hadiah dari luar. Anak dengan motivasi intrinsik cenderung lebih mandiri dan memiliki kontrol diri yang baik. Mereka belajar dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan dari proses itu sendiri. Motivasi inilah yang akan kita usahakan agar anak dapat memilikinya. - Motivasi Ekstrinsik (Eksternal)
Motivasi ekstrinsik bergantung pada faktor eksternal, seperti hadiah, pujian, ancaman bahkan hukuman. Ini adalah motivasi yang dipicu oleh sesuatu di luar diri anak, bukan karena mereka merasa tertarik pada aktivitas itu sendiri, yang tidak bisa kita gunkan terus menerus karena akan memberikan dampak buruk untuk jangka panjang. - Amotivasi (Tanpa Motivasi)
Anak yang mengalami amotivasi tidak merasa tertarik atau memiliki alasan untuk melakukan suatu tindakan. Kondisi ini biasanya muncul ketika anak merasa tidak ada nilai dalam apa yang mereka lakukan.
Motivasi Mana yang Harus Didahulukan?
Setelah paham tentang klasifikasi motivasi, muncul pertanyaan berikutnya. Manakah yang harus kita dahulukan untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anak?
Coba kita tarik ke belakang sebentar, tentang miskonsepsi yang sering muncul. Adanya anggapan bahwa motivasi eksternal diperlukan untuk memicu motivasi internal. Sehingga, tidak sedikit orang tua atau pendidik yang memberikan hadiah atau hukuman untuk memicu motivasi internal anak.
Padahal, ada pendekatan yang lebih efektif, yaitu membantu anak menemukan makna dalam tindakan mereka, sehingga mereka dapat mengembangkan motivasi intrinsik yang kuat. Mengutip dari yang disampaikan pemateri pada BINGKAI Vol.1,
“Anak-anak dari lahir sudah punya motivasi internal dan otonomi.”
Artinya, pada dasarnya anak sudah memiliki dorongan untuk belajar dan berkembang, hanya saja mereka membutuhkan pendampingan dan bantuan kita sebagai orang tua untuk menguatkan dan mengarahkan motivasi intrinsik mereka, salah satunya melalui pembelajaran makna di setiap aktivitasnya.
Baca juga: Self-Regulation: Kunci agar Anak Bisa Belajar Lebih Efektif
Motivasi Eksternal, Sebuah Kontrol bagai Pedang Bermata Dua
Meskipun memberi hadiah atau motivasi eksternal kadang diperlukan dalam situasi tertentu, terlalu bergantung pada kontrol eksternal ini bisa memberikan dampak kurang baik. Anak yang terbiasa diberikan penghargaan eksternal cenderung menjadi tergantung pada pujian atau hadiah, dan kehilangan rasa kepuasan yang sejati dalam melakukan sesuatu.
Ini juga bisa menurunkan kemampuan mereka untuk mengembangkan self-regulation, yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Sebagai contoh, memberi hadiah uang jika anak berhasil berpuasa sehari bisa jadi hanya menciptakan “zona takut,” di mana anak merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan hadiah, bukan karena merasa nilai dari tindakan tersebut. Hal ini justru menghalangi mereka untuk memahami proses belajar yang sesungguhnya.
Strategi Membangun Disiplin Positif yang Berkelanjutan
Sampailah kita di bagian memilih strategi yang tepat untuk membantu anak mengembangkan self-regulation dan disiplin positif yang berkelanjutan, Bu Najelaa Shihab bersama pemateri BINGKAI lainnya, sepakat bahwa ada banyak strategi yang bisa ktia coba, beberapa di antaranya seperti:
- Fokus pada Proses, Bukan Hasil
Alih-alih hanya memfokuskan anak pada hasil akhir, seperti nilai ujian atau pencapaian lainnya, alangkah lebih baik jika kita memberikan perhatian pada proses belajar yang mereka jalani. Ini akan membantu anak untuk menghargai usaha mereka sendiri, bukan hanya hasil yang dicapai. - Berikan Makna pada Pembelajaran
Anak yang memahami nilai dari apa yang mereka pelajari cenderung lebih termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk membantu anak menemukan makna dalam setiap tugas atau kegiatan yang mereka lakukan. - Bangun Kepercayaan Diri dan Komitmen
Memberikan anak kesempatan untuk merasakan kepuasan dari pencapaian yang mereka raih dengan usaha sendiri. Ini dapat membangun rasa percaya diri dan komitmen mereka untuk terus belajar.
Dari BINGKAI Vol.1, Kita Belajar tentang …..
BINGKAI Vol.1 memberikan banyak insight dan pengalaman praktis dari praktisi serta orang tua yang telah mencoba menerapkan disiplin positif dalam pengasuhan mereka. Melalui sesi berbagi pengalaman ini, kami berharap Ayah Bunda dapat saling belajar tentang tantangan dan keberhasilan dalam mendampingi anak, serta mendapatkan inspirasi untuk terus menerapkan pendekatan yang lebih efektif dalam mendidik anak.
Sebagai penutup, Bu Najelaa Shihab kembali mengingatkan bahwa disiplin positif bukan hanya soal mengontrol perilaku anak, tetapi tentang membangun karakter yang mandiri dan bertanggung jawab. Harapannya, orang tua bisa menjadi teladan dan pendamping yang sabar, konsisten, dan penuh kasih dalam proses mendampingi anak.
Karena pada dasarnya disiplin positif adalah pendekatan yang berfokus terhadap pengembangan karakter anak, bukan hanya sekadar mengatur atau mengontrol perilaku mereka. Oleh sebab itu, mempelajari dan mempraktikkan teori ini juga bisa membantu anak untuk mengembangkan self-regulation yang baik, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan emosional dan sosial mereka dengan lebih baik.