Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the google-analytics-for-wordpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/www.sekolahmuridmerdeka.id/public_html/blog/wp-includes/functions.php on line 6121

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the instagram-feed domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/www.sekolahmuridmerdeka.id/public_html/blog/wp-includes/functions.php on line 6121

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the fakerpress domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/www.sekolahmuridmerdeka.id/public_html/blog/wp-includes/functions.php on line 6121
April 2025 - Sekolah Murid Merdeka
Categories
Berita Terkini SMM Parenting Pendidikan

Self-Regulation dan Kesuksesan Akademik: Mengapa Homeschooling Bisa jadi Pilihan Tepat?

Hi Ayah Bunda, 

Saat bicara soal pendidikan, pasti semua orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Bukan hanya dari sisi nilai, tapi juga dari cara anak belajar dan berkembang sebagai individu yang mandiri.

Saat ini, banyak anak mengikuti sistem pendidikan formal. Mereka belajar dengan jadwal yang teratur, diawasi guru, dan terbiasa mengikuti arahan. Sistem ini memang membantu membentuk rutinitas, tapi di balik itu seringkali muncul pertanyaan penting:

Apakah anak sudah benar-benar bisa mengatur dirinya sendiri dalam belajar? Tanpa guru yang terus mengingatkan, apakah anak tetap bisa fokus, menyelesaikan tugas, dan punya semangat belajar dari dalam dirinya sendiri?

Jika jawabannya belum sepenuhnya, Ayah Bunda tidak sendirian. Banyak orang tua mulai menyadari bahwa kemampuan anak dalam mengatur diri atau yang biasa disebut self-regulation belum sepenuhnya terbentuk. Padahal, keterampilan ini sangat penting untuk mendukung kesuksesan akademik jangka panjang, bahkan untuk kehidupan di luar sekolah.

Nah, salah satu cara yang kini mulai banyak dilirik untuk membantu anak mengembangkan self-regulation adalah melalui homeschooling. Melalui sistem homeschooling yang memfasilitasi anak untuk belajar dari rumah ini dinilai dapat memberi ruang bagi anak kita untuk mengenal ritme belajarnya sendiri, belajar bertanggung jawab, dan mengasah kemandirian secara nyata.

Hubungan Self-Regulation dan Kesuksesan Akademik

Nah, kenapa kita harus menerapkan self-regulation pada anak? Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki kemampuan self-regulation yang baik cenderung lebih sukses secara akademik. Mereka lebih mampu merencanakan, menyelesaikan tugas dengan baik, dan tetap termotivasi meskipun ada berbagai tantangan dalam belajar.

Dalam konteks homeschooling, Ayah Bunda dapat mendukung anak belajar dengan berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai guru yang selalu mengontrol. Ayah Bunda bisa mendampingi anak untuk menemukan cara belajar yang paling sesuai dengan dirinya. Ini adalah kesempatan bagi anak untuk belajar bagaimana cara belajar secara mandiri dan bertanggung jawab atas setiap progresnya sendiri.

Tantangan Homeschooling dalam Membangun Self-Regulation

Dibalik segala manfaat yang didapatkan dari sistem homeschooling dan kebebasannya, tidak semua anak dapat langsung beradaptasi dan mengatur dirinya dengan baik. Seringkali, terdapat beberapa tantangan yang muncul dan harus kita hadapi. Beberapa di antaranya adalah:

  • Kurangnya Struktur – Tanpa jadwal yang pasti, anak seringkali merasa bingung atau kesulitan mengatur waktu belajar mereka.
  • Kurang Motivasi Internal – Karena terbiasa dengan sistem reward dan punishment di sekolah formal, anak seringkali merasa kesulitan untuk termotivasi sendiri.
  • Kurangnya Interaksi Sosial – Dengan sistem belajar dari rumah tanpa teman sekelas yang sebaya, anak akan merasa kesepian dan tidak terbiasa dengan teamwork.

Namun, jangan khawatir Ayah Bunda! Semua tantangan ini bisa kita atasi. Homeschooling justru memberikan banyak ruang bagi anak untuk belajar mengembangkan self-regulation mereka dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Dengan dukungan yang tepat, anak bisa belajar mengatasi tantangan ini dan berkembang dengan baik.

Bagaimana Program Daring Rutin di SMM Bisa Membantu Membangun Self-Regulation Anak?

Nah, untuk menjawab beberapa tantangan sebelumnya, di sinilah Daring Rutin di SMM hadir. Daring Rutin ini dapat membantu anak untuk belajar dengan cara yang lebih terstruktur namun tetap fleksibel. Program ini dirancang khusus untuk membantu anak mengembangkan self-regulation tanpa kehilangan kebebasan yang menjadi keunggulan homeschooling.

Apa saja sih keunggulan Daring Rutin SMM?

  1. Kelas Online Terjadwal sehingga anak tetap bisa punya rutinitas belajar yang terstruktur, tapi tetap fleksibel dan tidak membosankan.
  2. Interaksi dengan Guru dan Teman Sebaya sehingga anak-anak tetap merasa terhubung dengan teman-temannya dan tidak merasa sendirian dalam proses belajar.
  3. Materi Belajar di Learning Management System (LMS) sehingga anak bisa mengakses materi kapan saja dan belajar sesuai dengan kapabilitasnya.
  4. Learning Kit Interaktif sebagai alat bantu belajar yang menarik, sehingga anak dapat lebih mudah memahami berbagai materi yang diajarkan.
  5. Tatap Muka Rutin & Pameran Karya yang memberi kesempatan bagi anak untuk melatih keterampilan sosial mereka dan membagikan hasil belajarnya dengan teman-teman atau orang tua.

Selain itu, ada juga pilihan program seru lainnya, seperti Kelas Plus Online untuk interaksi lebih intensif dengan guru, Fun Field Trip untuk pengalaman belajar di luar kelas, dan Tatap Muka Tambahan yang bisa mendukung anak untuk belajar berkolaborasi dan mengasah keterampilan komunikasi.

Cara Orang Tua Mendukung Self-Regulation Anak dalam Homeschooling

Dengan belajar dari rumah, Ayah Bunda cukup berperan penting dalam membantu anak mengembangkan self-regulation. Nah, apa saja yang dapat kita lakukan? Ada beberapa cukup banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendukung anak berproses:

  • Berikan Kebebasan yang Terarah – Ayah Bunda dapat mengajak anak untuk membuat jadwal belajarnya sendiri. Namun, tetap lakukan pengawasan agar mereka tetap on track.
  • Latih Anak untuk Refleksi Diri – Bantu anak untuk menilai perkembangan belajar mereka, mengenali pencapaian yang sudah diraih dan memahami hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki.
  • Jadilah Contoh yang Baik – Anak banyak belajar dari contoh yang Ayah Bunda berikan. Tunjukkan pada anak bagaimana cara mengatur waktu dan menyelesaikan tugas dengan disiplin.
  • Manfaatkan Sumber Daya yang AdaProgram Daring Rutin di SMM dapat menjadi tools yang sangat berguna untuk membantu anak belajar dengan struktur yang jelas, namun tetap memberikan fleksibilitas yang mereka butuhkan.

Sudahkah Ayah Bunda mencoba metode belajar yang membangun self-regulation anak di rumah? Self-regulation dapat menjadi pondasi yang penting dalam kesuksesan akademik anak, terutama dalam homeschooling. Dengan kebebasan untuk belajar di rumah, anak memiliki kesempatan untuk mengatur dirinya sendiri, namun tetap dengan dukungan yang baik dan konsisten dari Ayah Bunda.

Bagaimana Ayah Bunda? Sudah siap membantu anak belajar lebih mandiri dan sukses? Yuk coba program Daring Rutin di SMM dengan segala aktivitas dan program menarik di dalamnya dan bantu anak meraih kesuksesan akademik dengan cara yang lebih terstruktur, percaya diri, dan penuh semangat!

Baca juga: Self-Regulation: Kunci agar Anak Bisa Belajar dengan Lebih Efektif

Categories
Berita Terkini SMM Event Parenting

Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, 5 Tipe Figur Disiplin, Ayah Bunda termasuk Tipe yang Mana?

“Disiplin bukan soal menghukum, tapi soal membentuk karakter.”
— Najelaa Shihab

Halo Ayah Bunda, masih ingatkah dengan inisiatif baru dari SMM yang berjudul BINGKAI Vol 1? Sebuah acara diskusi interaktif SMM bersama Keluarga Kita dengan konsep roadshow ke berbagai kota di Indonesia. Masih dalam serangkaian highlight BINGKAI Vol 1, ada lanjutan pembahasan yang akan kami bagikan dari topik Tantangan Disiplin Positif. Kali ini, pembahasannya akan berfokus pada pengenalan tipe figur disiplin positif.

Apakah Ayah Bunda pernah merasa bimbang saat harus menegur anak? Seperti berada pada situasi yang harus memilih, memberikan kesempatan pada anak untuk belajar tanggung jawab atau ada kekhawatiran akan terlalu keras jika melakukannya, tapi juga terlalu memanjakan jika tidak pernah mengajarkannya? 

Inilah situasi dilema yang telah menjadi isu klasik dalam parenting, serta belum menyadari gaya kita ketika menerapkan disiplin pada anak. Nah, di sesi BINGKAI Vol.1 ini menjadi salah satu topik pembahasan tentang gaya penerapan disiplin kepada anak yang mengerucut pada 5 tipe figur disiplin yang sering muncul dalam pola asuh orang tua.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak Ayah Bunda untuk memahami tipe figur disiplin,  mengenali gaya kita sendiri, dan yang tidak kalah penting adalah melihat bagaimana hal ini bisa berdampak langsung untuk perkembangan anak. Mari kita bahas satu persatu di sini ya.

Mengapa Disiplin Positif itu Penting?

Hal pertama yang sekaligus menjadi fundamental adalah memahami alasan pentingnya pemahaman dan penerapan disiplin positif. Nah, Ayah Bunda bisa langsung membaca pembahasan lengkapnya pada artikel Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, Membangun Self-Regulation Anak Mulai Dari Memahami Sumber Motivasi.

Melanjutkan dari artikel sebelumnya, satu hal yang harus kita sepakati bersama adalah disiplin ini bukanlah bentuk kontrol orang tua kepada anak. Melainkan, proses menanamkan nilai tanpa paksaan atau menakuti anak. Seperti yang disebutkan oleh Psikolog anak dan remaja Dr. Laura Markham (penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids), 

“Discipline should be about teaching, not punishing. Children need guidance, not fear.”

Anak yang tumbuh dalam suasana disiplin yang sehat akan belajar mengambil keputusan, bertanggung jawab, dan merasa aman untuk jadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari dan menerapkan disiplin positif kepada anak. 

5 Tipe Figur Disiplin dalam Pola Parenting

Setelah kita memiliki pemahaman yang sama terkait disiplin positif, selanjutnya yang perlu Ayah Bunda ketahui adalah setiap orang tua pasti memiliki karakteristik dalam penerapan disiplin kepada anak. Ada yang sifatnya saling melengkapi, tapi ada juga yang kontradiktif satu sama lain. Nah, disinilah pentingnya untuk mengetahui tipe figur disiplin dan bagaimana dampaknya terhadap anak. 

  1. Tipe Penghukum

  2. Pada tipe penghukum, emosi dominan yang ditunjukkan adalah marah. Sehingga dalam mendisiplinkan anak cenderung dilakukan dengan memberikan hukuman. Ketika anak melakukan kesalahan, respons yang muncul biasanya reaktif seperti marah, membentak, bahkan memberikan sanksi langsung tanpa menjelaskan alasannya. 

    Tujuannya memang untuk “menghentikan” perilaku negatif, namun metode ini tidak bisa diterapkan untuk jangka panjang karena dalam tidak menyentuh akar masalah dan justru dapat menimbulkan “masalah” baru, baik untuk orang tua maupun anak. 

    Dampak ke anak:
    Anak jadi takut salah, takut jujur, dan hanya patuh karena tekanan. Dalam jangka panjang, bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mengambil keputusan atau malah memberontak diam-diam.

    “Disiplin berbasis hukuman hanya efektif sementara, tapi tidak menanamkan nilai-nilai yang ingin kita ajarkan.”
    — Jane Nelsen, Positive Discipline

    Sebaiknya…

    Pertanyaan berikutnya, jika memiliki tipe ini bagaimana sebaiknya kita bertindak ketika ingin mendisiplinkan anak? Dalam penerapan disiplin positif, daripada langsung menghukum, sebaiknya ajak anak memahami konsekuensi logis dari tindakannya. 

    Boleh marah, tapi berikan penjelasan dan arahan kepada anak. Ambil jeda sejenak untuk menenangkan diri sebelum merespons anak. Disiplin bukan soal melampiaskan emosi, tapi tentang mendidik dan membentuk karakter.

  3. Tipe Pembuat Rasa Bersalah

  4. Orang tua dengan tipe ini sering merasa bersalah jika anak tidak “berhasil”, dan mengekspresikannya dalam bentuk kalimat pasif-agresif, tekanan emosional, atau ekspresi kecewa yang tidak disampaikan secara terbuka. Biasanya muncul saat orang tua punya standar tinggi terhadap diri sendiri dan anak, lalu tidak terbiasa menunjukkan kelemahan atau ketidaksempurnaan.

    Dampak ke anak:
    Anak menjadi perfeksionis dan takut gagal, tumbuh dengan suara batin yang keras seperti “Aku nggak cukup baik.” Dampak jangka panjangnya adalah bisa mempengaruhi kestabilan emosi anak dan cara mereka melihat dirinya sendiri di berbagai situasi.

    “Guilt is a natural emotion—but when it becomes a tool, it damages the child’s inner voice.”
    — Brené Brown

    Sebaiknya…

    Alih-alih membuat anak merasa bersalah, akui perasaan dan beri ruang diskusi. Tunjukkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ayah Bunda juga bisa membiasakan dengan afirmasi, “Tidak apa-apa gagal, yang penting kamu belajar,” dan contohkan bahwa orang tua pun bisa salah dan belajar juga.

  5. Tipe Teman Baik

  6. Tipe ini ingin jadi sahabat anak. Baik niatnya, tapi bisa jadi malah salah kaprah karena orang tua menyimpan perasaan takut membuat anak kecewa atau marah, kehilangan kedekatan emosional dengan anak, sehingga enggan memberikan aturan atau konsekuensi. Konsekuensinya, anak tidak belajar struktur dan batasan yang sehat.

    Dampak ke anak:
    Anak cenderung tumbuh tanpa memahami tanggung jawab. Mereka sulit menerima “tidak”, dan tidak terbiasa menghadapi konflik atau batasan sosial yang wajar.

    “Hubungan yang sehat bukan tanpa konflik, tapi mampu melalui konflik bersama.”
    — Najelaa Shihab

    Sebaiknya…

    Ingat, memberi batas itu bentuk cinta juga. Mulailah dengan membuat aturan bersama anak, dan tetap konsisten menjalankannya. Konflik kecil bukan berarti hubungan rusak, justru dari situ anak dapat belajar bernegosiasi dan memahami cara kerja dunia luar.

  7. Tipe Pemantau

  8. Tipe ini cenderung mengontrol, pada tingkat ekstrem akan mengatur, mengawasi, dan menilai setiap aspek hidup anak seperti belajar, makan, tidur, main. Semua ini berasal dari rasa khawatir berlebih bahwa anak akan gagal jika tidak “dibimbing”.

    Dampak ke anak:
    Anak merasa dicintai hanya ketika sukses. Mereka bisa tumbuh dengan kecemasan tinggi, takut salah, atau ketergantungan pada validasi eksternal.

    “Terlalu banyak kontrol bisa mematikan rasa percaya diri dan keingintahuan alami anak.”
    — Daniel J. Siegel, The Whole-Brain Child

    Sebaiknya…

    Ubah pendekatan dari “pengatur” menjadi pemandu, pengarah, dan penasihat. Biarkan anak mengambil keputusan kecil dalam kesehariannya, misal ketika memilih baju, menyusun jadwal belajar, dll. Bangun kepercayaan secara bertahap, dan bantu anak menilai keberhasilan dari proses, bukan hasil semata.

  9. Tipe Penumbuh 

  10. Inilah tipe yang menjadi figur ideal dan sebaiknya kita terapkan untuk parenting.  Figur yang mengajak anak belajar dari kesalahan, menetapkan aturan dengan diskusi, dan memberi ruang eksplorasi dan berkolaborasi. Mereka mengakui bahwa anak adalah individu yang unik dan sedang belajar, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara aturan dan kasih sayang, mendorong anak berpikir, bukan hanya taat, dan membangun hubungan dua arah berdasarkan rasa percaya.

    Dampak ke anak:
    Anak tumbuh dengan motivasi internal yang kuat, mampu mengatur emosi, dan tahu bahwa kesalahan bukan hal fatal yang tidak dapat diperbaiki, melainkan kesempatan untuk bertumbuh.

    Empathy doesn’t mean permissiveness. It’s the foundation of effective boundaries.”
    — Dr. Laura Markham

    Oleh sebab itu, kita perlu terus melatih empati dan refleksi, menjadi tempat aman anak untuk bertanya, berbagi, bahkan melakukan kesalahan. Ayah Bunda juga bisa mulai menerapkan penggunaan pertanyaan terbuka seperti, “Menurutmu apa yang bisa dilakukan lebih baik lain kali?” untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian.

    Jadi, Kita termasuk Tipe yang Mana?

    Sampailah kita pada penghujung artikel, setelah membaca penjelasan di atas, mari kita coba merefleksikan diri untuk mengetahui tipe figur disiplin mana yang paling dominan kita terapkan pada anak. Bagaimana caranya? Ayah Bunda bisa memulainya dengan menjawab 3 pertanyaan dasar berikut. 

    1. Apa emosi pertama yang muncul saat saya mendisiplinkan anak?
    2. Mana gaya komunikasi saya, mengatur, menegur, atau mengajak bicara?
    3. Apakah saya lebih sering bereaksi atau merespon secara sadar?

    Ingat, tujuan dari refleksi ini bukan untuk menyalahkan diri sendiri. Tapi sebagai langkah awal untuk menjadi orang tua yang lebih sadar dan responsif terhadap kebutuhan emosional anak, serta sebagai kesempatan untuk tetap bertumbuh sebagai orang tua yang menjalankan kewajibannya kepada anak. 

    Jadi, Ayah Bunda cenderung masuk ke tipe yang mana nih?