“Disiplin bukan soal menghukum, tapi soal membentuk karakter.”
— Najelaa Shihab
Halo Ayah Bunda, masih ingatkah dengan inisiatif baru dari SMM yang berjudul BINGKAI Vol 1? Sebuah acara diskusi interaktif SMM bersama Keluarga Kita dengan konsep roadshow ke berbagai kota di Indonesia. Masih dalam serangkaian highlight BINGKAI Vol 1, ada lanjutan pembahasan yang akan kami bagikan dari topik Tantangan Disiplin Positif. Kali ini, pembahasannya akan berfokus pada pengenalan tipe figur disiplin positif.
Apakah Ayah Bunda pernah merasa bimbang saat harus menegur anak? Seperti berada pada situasi yang harus memilih, memberikan kesempatan pada anak untuk belajar tanggung jawab atau ada kekhawatiran akan terlalu keras jika melakukannya, tapi juga terlalu memanjakan jika tidak pernah mengajarkannya?
Inilah situasi dilema yang telah menjadi isu klasik dalam parenting, serta belum menyadari gaya kita ketika menerapkan disiplin pada anak. Nah, di sesi BINGKAI Vol.1 ini menjadi salah satu topik pembahasan tentang gaya penerapan disiplin kepada anak yang mengerucut pada 5 tipe figur disiplin yang sering muncul dalam pola asuh orang tua.
Melalui artikel ini, kami ingin mengajak Ayah Bunda untuk memahami tipe figur disiplin, mengenali gaya kita sendiri, dan yang tidak kalah penting adalah melihat bagaimana hal ini bisa berdampak langsung untuk perkembangan anak. Mari kita bahas satu persatu di sini ya.
Mengapa Disiplin Positif itu Penting?
Hal pertama yang sekaligus menjadi fundamental adalah memahami alasan pentingnya pemahaman dan penerapan disiplin positif. Nah, Ayah Bunda bisa langsung membaca pembahasan lengkapnya pada artikel Highlight BINGKAI Vol.1: Tantangan Disiplin Positif, Membangun Self-Regulation Anak Mulai Dari Memahami Sumber Motivasi.
Melanjutkan dari artikel sebelumnya, satu hal yang harus kita sepakati bersama adalah disiplin ini bukanlah bentuk kontrol orang tua kepada anak. Melainkan, proses menanamkan nilai tanpa paksaan atau menakuti anak. Seperti yang disebutkan oleh Psikolog anak dan remaja Dr. Laura Markham (penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids),
“Discipline should be about teaching, not punishing. Children need guidance, not fear.”
Anak yang tumbuh dalam suasana disiplin yang sehat akan belajar mengambil keputusan, bertanggung jawab, dan merasa aman untuk jadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari dan menerapkan disiplin positif kepada anak.
5 Tipe Figur Disiplin dalam Pola Parenting
Setelah kita memiliki pemahaman yang sama terkait disiplin positif, selanjutnya yang perlu Ayah Bunda ketahui adalah setiap orang tua pasti memiliki karakteristik dalam penerapan disiplin kepada anak. Ada yang sifatnya saling melengkapi, tapi ada juga yang kontradiktif satu sama lain. Nah, disinilah pentingnya untuk mengetahui tipe figur disiplin dan bagaimana dampaknya terhadap anak.
-
Tipe Penghukum
-
Tipe Pembuat Rasa Bersalah
-
Tipe Teman Baik
-
Tipe Pemantau
-
Tipe Penumbuh
- Apa emosi pertama yang muncul saat saya mendisiplinkan anak?
- Mana gaya komunikasi saya, mengatur, menegur, atau mengajak bicara?
- Apakah saya lebih sering bereaksi atau merespon secara sadar?
Pada tipe penghukum, emosi dominan yang ditunjukkan adalah marah. Sehingga dalam mendisiplinkan anak cenderung dilakukan dengan memberikan hukuman. Ketika anak melakukan kesalahan, respons yang muncul biasanya reaktif seperti marah, membentak, bahkan memberikan sanksi langsung tanpa menjelaskan alasannya.
Tujuannya memang untuk “menghentikan” perilaku negatif, namun metode ini tidak bisa diterapkan untuk jangka panjang karena dalam tidak menyentuh akar masalah dan justru dapat menimbulkan “masalah” baru, baik untuk orang tua maupun anak.
Dampak ke anak:
Anak jadi takut salah, takut jujur, dan hanya patuh karena tekanan. Dalam jangka panjang, bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mengambil keputusan atau malah memberontak diam-diam.
“Disiplin berbasis hukuman hanya efektif sementara, tapi tidak menanamkan nilai-nilai yang ingin kita ajarkan.”
— Jane Nelsen, Positive Discipline
Sebaiknya…
Pertanyaan berikutnya, jika memiliki tipe ini bagaimana sebaiknya kita bertindak ketika ingin mendisiplinkan anak? Dalam penerapan disiplin positif, daripada langsung menghukum, sebaiknya ajak anak memahami konsekuensi logis dari tindakannya.
Boleh marah, tapi berikan penjelasan dan arahan kepada anak. Ambil jeda sejenak untuk menenangkan diri sebelum merespons anak. Disiplin bukan soal melampiaskan emosi, tapi tentang mendidik dan membentuk karakter.
Orang tua dengan tipe ini sering merasa bersalah jika anak tidak “berhasil”, dan mengekspresikannya dalam bentuk kalimat pasif-agresif, tekanan emosional, atau ekspresi kecewa yang tidak disampaikan secara terbuka. Biasanya muncul saat orang tua punya standar tinggi terhadap diri sendiri dan anak, lalu tidak terbiasa menunjukkan kelemahan atau ketidaksempurnaan.
Dampak ke anak:
Anak menjadi perfeksionis dan takut gagal, tumbuh dengan suara batin yang keras seperti “Aku nggak cukup baik.” Dampak jangka panjangnya adalah bisa mempengaruhi kestabilan emosi anak dan cara mereka melihat dirinya sendiri di berbagai situasi.
“Guilt is a natural emotion—but when it becomes a tool, it damages the child’s inner voice.”
— Brené Brown
Sebaiknya…
Alih-alih membuat anak merasa bersalah, akui perasaan dan beri ruang diskusi. Tunjukkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Ayah Bunda juga bisa membiasakan dengan afirmasi, “Tidak apa-apa gagal, yang penting kamu belajar,” dan contohkan bahwa orang tua pun bisa salah dan belajar juga.
Tipe ini ingin jadi sahabat anak. Baik niatnya, tapi bisa jadi malah salah kaprah karena orang tua menyimpan perasaan takut membuat anak kecewa atau marah, kehilangan kedekatan emosional dengan anak, sehingga enggan memberikan aturan atau konsekuensi. Konsekuensinya, anak tidak belajar struktur dan batasan yang sehat.
Dampak ke anak:
Anak cenderung tumbuh tanpa memahami tanggung jawab. Mereka sulit menerima “tidak”, dan tidak terbiasa menghadapi konflik atau batasan sosial yang wajar.
“Hubungan yang sehat bukan tanpa konflik, tapi mampu melalui konflik bersama.”
— Najelaa Shihab
Sebaiknya…
Ingat, memberi batas itu bentuk cinta juga. Mulailah dengan membuat aturan bersama anak, dan tetap konsisten menjalankannya. Konflik kecil bukan berarti hubungan rusak, justru dari situ anak dapat belajar bernegosiasi dan memahami cara kerja dunia luar.
Tipe ini cenderung mengontrol, pada tingkat ekstrem akan mengatur, mengawasi, dan menilai setiap aspek hidup anak seperti belajar, makan, tidur, main. Semua ini berasal dari rasa khawatir berlebih bahwa anak akan gagal jika tidak “dibimbing”.
Dampak ke anak:
Anak merasa dicintai hanya ketika sukses. Mereka bisa tumbuh dengan kecemasan tinggi, takut salah, atau ketergantungan pada validasi eksternal.
“Terlalu banyak kontrol bisa mematikan rasa percaya diri dan keingintahuan alami anak.”
— Daniel J. Siegel, The Whole-Brain Child
Sebaiknya…
Ubah pendekatan dari “pengatur” menjadi pemandu, pengarah, dan penasihat. Biarkan anak mengambil keputusan kecil dalam kesehariannya, misal ketika memilih baju, menyusun jadwal belajar, dll. Bangun kepercayaan secara bertahap, dan bantu anak menilai keberhasilan dari proses, bukan hasil semata.
Inilah tipe yang menjadi figur ideal dan sebaiknya kita terapkan untuk parenting. Figur yang mengajak anak belajar dari kesalahan, menetapkan aturan dengan diskusi, dan memberi ruang eksplorasi dan berkolaborasi. Mereka mengakui bahwa anak adalah individu yang unik dan sedang belajar, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara aturan dan kasih sayang, mendorong anak berpikir, bukan hanya taat, dan membangun hubungan dua arah berdasarkan rasa percaya.
Dampak ke anak:
Anak tumbuh dengan motivasi internal yang kuat, mampu mengatur emosi, dan tahu bahwa kesalahan bukan hal fatal yang tidak dapat diperbaiki, melainkan kesempatan untuk bertumbuh.
“Empathy doesn’t mean permissiveness. It’s the foundation of effective boundaries.”
— Dr. Laura Markham
Oleh sebab itu, kita perlu terus melatih empati dan refleksi, menjadi tempat aman anak untuk bertanya, berbagi, bahkan melakukan kesalahan. Ayah Bunda juga bisa mulai menerapkan penggunaan pertanyaan terbuka seperti, “Menurutmu apa yang bisa dilakukan lebih baik lain kali?” untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian.
Jadi, Kita termasuk Tipe yang Mana?
Sampailah kita pada penghujung artikel, setelah membaca penjelasan di atas, mari kita coba merefleksikan diri untuk mengetahui tipe figur disiplin mana yang paling dominan kita terapkan pada anak. Bagaimana caranya? Ayah Bunda bisa memulainya dengan menjawab 3 pertanyaan dasar berikut.
Ingat, tujuan dari refleksi ini bukan untuk menyalahkan diri sendiri. Tapi sebagai langkah awal untuk menjadi orang tua yang lebih sadar dan responsif terhadap kebutuhan emosional anak, serta sebagai kesempatan untuk tetap bertumbuh sebagai orang tua yang menjalankan kewajibannya kepada anak.
Jadi, Ayah Bunda cenderung masuk ke tipe yang mana nih?